Daun Pohon Maple Yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin Part II
Namaku
Fikri, sudah 10 bulan lamanya aku tinggal di negara nun jauh dari kampung
halamanku. Negara Kanada, tepatnya di sebuah kota yang terletak di Kanada
bagian Timur yaitu kota Quebec.
Saat
ini suhu pada bulan November di kota Quebec mencapai suhu 17° di siang hari.
Angin dingin menyerang kulit dan bisa menyebabkan kulit kering serta bibir
terluka. Dari sekitar 1 bulanan yang lalu, aku menghabiskan beberapa sisa
uangku untuk membeli beberapa pakaian tebal serta obat-obatan. Aku sungkan jika
harus merepotkan kakek yang sudah seharusnya aku rawat disini. Meski baru
mengenalnya sekitar 10 bulan yang lalu, aku sepertinya sudah memiliki ikatan
batin yang kuat dengannya walaupun hanya sebagai orang tua angkatku saja.
Mengapa
aku bisa bertemu dengan si kakek? Ceritanya lumayan panjang, tapi sepertinya
ada beberapa poin-poin penting yang bisa aku sampaikan disini.
Tepat
1 tahun yang lalu, aku mendapatkan email dari panitia program pertukaran
pelajar internasional kategori kebudayaan dan sastra yang sudah aku ikuti sejak
2021 silam. Program itu bertujuan untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia
dalam bidang sastra maupun bahasa kepada salah satu universitas ternama yang
ada di negara bagian Amerika Serikat yaitu Kanada, tepatnya yaitu di kota
Quebec.
Baca juga : Daun Pohon Maple Yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin
“Kenapa
aku tertarik?” Wah pertanyaannya salah, harusnya “Kenapa aku tidak tertarik
mengikuti program ini?”.
Sastra
dan literasi mungkin sudah menjadi hobi yang mendarah daging, bahkan setiap
minggu, aku selalu meminta orang tuaku untuk mengantarkanku ke toko buku terdekat.
Meski tidak bisa membeli banyak buku karena keterbatasan finansial, aku masih
bisa membaca beberapa buku di tempat khusus yang disediakan toko tersebut untuk
membaca buku secara gratis.
Sejak
duduk di sekolah dasar, aku sangat suka dengan banyak sekali buku hingga
beberapa kali berkesempatan mengikuti perlombaan yang diadakan pihak sekolah
seperti menulis, baca tulis puisi dan juga berpidato.
Dari
sekolah dasar hingga sekolah menengah, banyak ajang perlombaan sastra yang
sudah aku menangkan. Ada juga beberapa saung sastra dan juga komunitas menulis
yang aku ikuti demi menyalurkan semua hobiku ini.
Berkat
semua pengalaman itu, akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk bisa menimba
ilmu baru di salah satu universitas ternama yang ada di kota Bandung dengan
jalur beasiswa prestasi. Aku mengambil Fakultas Ilmu Seni dan Satra dan
mengambil jurusan sastra bahasa Indonesia.
Mungkin
ada yang bertanya “kenapa mengambil jurusan sastra?,” “Emang kedepannya mau
jadi apa?,” Bla bla bla dan begitu banyak pertanyaan lainnya.
Satu
jawaban untuk semuanya, jika kita mengikuti apa kata hati kita, maka kita akan
mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan. Tak lebih dan tak kurang, itu semua
karena kegemaranku semenjak kecil dan sastra adalah ilmu yang paling indah yang
aku kenal selama ini.
Mengikuti
apa kata hati, kurasa itu menjadi kata-kata keramat ketika aku duduk di
semester 3, saat dimana aku menemukan seseorang yang membuat hati ini sangat
berguncang. Entah apa kata yang cocok untuk diukir oleh sebuah pena demi menggambarkan
begitu eloknya sosok itu di mataku.
Kata-kata
yang selama ini kupelajari belum ada yang bisa menggantikan perangainya. Prasa
indah yang aku ukir dalam setiap puisi tak pernah bisa menggapai keindahannya.
Hingga tanganku gemetar setiap kali aku menulis sesuatu demi menggambarkan
kehadirannya disini.
Tapi
sepertinya, bab ini tidak cocok untuk menceritakan pertemuanku dengan sosok
itu. Kurasa aku cukupkan dengan cerita pertama kali aku bertemu si kakek.
Tepat
ketika aku menginjak semester 5, ada salah satu poster termpampang lebar di
mading kuliah. Program pertukaran pelajar kategori kebudayaan dan sastra,
disana juga tertulis bahwasannya program ini bertujuan mengirimkan delegasi
Indonesia untuk memperkenalkan kebudayaan dan sastra Indonesia di kancah dunia.
Program ini dapat diikuti oleh 25 orang terpilih dan berkesempatan untuk
tinggal di Kanada selama 1 tahun untuk mengikuti segala macam program dan
kegiatan disana.
“Ini
kesempatan emas,” batinku. Pergi ke luar negeri adalah salah satu impianku sejak
kecil, apalagi program ini sangat cocok dengan apa yang selama ini aku tekuni.
Berbagai
macam syarat pendaftaran beserta tes-tes penerimaan calon program ini aku
lewati dengan semangat 45 dan antusiasme yang luar biasa. Ada ribuan orang yang
hadir demi memperebutkan kuota terbatas ini. Dari sekian banyak seleksi yang
berlangsung sekitar 1 bulan, akhirnya terpilihlah 100 orang calon penerima
program tersebut. Dan ternyata namaku ada di urutan 10 teratas berdasarkan
hasil nilai seleksi para peserta.
Di
hari esoknya, 100 orang yang lolos mengikuti seminar yang diadakan panitia
untuk mendapatkan arahan dan pengetahuan umum tentang program yang akan
dilaksanakan selama satu tahun mendatang. Dan di akhir sesi seminar, panitia
mengumumkan bahwa penentuan dan seleksi terakhir ditentukan dari pembuatan
karya tulis tentang kebudayaan yang ada di Kanada beserta kebudayaan Indonesia
yang bisa dihadirkan untuk program tersebut. Mereka memberikan sekitar 10 hari
untuk riset dan pengumpulan hasil karya tulis para peserta.
Setelah
10 hari yang sangat panjang, dengan tangan gemetar dan hati yang berdetak
kencang. Akhirnya aku kirimkan tulisan itu lewat laptop mungil pemberian kakak
pertamaku. Itu laptop bekas kuliahnya yang sudah tak terpakai lagi, dan aku
bersyukur laptop itu masih bisa berfungsi sampai saat ini.
Entah
sudah berapa hari berlalu, di pagi hari tepatnya pada bulan November tahun
2021, sebuah email masuk. Disana tertulis, “surat untuk saudara Fikri”. Ketika
dibuka, terpampang ucapan “selamat” serta beberapa kata hangat yang intinya aku
lolos untuk mengikuti program pertukaran pelajar di negara Kanada.
Bagai
sebuah hadiah paling indah dari sebuah perjuangan, berita luar biasa ini
kusebarkan kepada keluargaku nun jauh di kampung halaman. Mereka menjawab kabar
tersebut dengan penuh kesyukuran serta memberikan beberapa nasihat dan dukungan
berupa do’a untuk keberangkatan anaknya ke negeri orang. Tepatnya di penghujung
tahun 2021, seluruh peserta program yang berjumlah 25 orang berkumpul di rumah
hunian yang khusus disediakan bagi para peserta sebelum melaksanakan
keberangkatan ke Kanada. Dan tepat pada esok hari, kami semua sudah berada di
Bandara Soekarno-Hatta dan siap melakukan perjalanan jauh selama belasan jam
hingga ke ujung dunia.
Persiapan
pakaian, paspor dan visa, serta persiapan diri menjadi modal utama kesiapan
kami semua berangkat ke Kanada. Sesuai arahan dari panitia program delegasi,
setiap orang akan mendapatkan tempat tinggal yang beragam, dan biasanya akan
ada beberapa yang tinggal dengan tujuan membantu tuan rumah serta mengamalkan
sikap dan perangai baik warga Indonesia kepada masyarakat di Kanada.
Setelah
perjalanan yang menghabiskan bayak sekali tenaga, kami dijemput oleh salah satu
perwakilan program delegasi yang berdomisili di Kanada. Setiap orang
mendapatkan 2-3 orang per kelompok dan tinggal di satu rumah yang sama. Dan
ternyata, ada 1 orang yang harus tinggal sendiri bersama salah seorang kakek
tua di pinggiran kota Quebec.
Dari
hasil diskusi, akhirnya aku ditugaskan untuk tinggal bersama kakek tersebut.
Sebuah rumah sederhana nan elok tak jauh dari pusat kota, pemandangan yang
memanjakan mata terlihat setelah kita sampai di pusat kota, ada berbagai
bangunan indah nan cantik beserta rindangnya pepohonan berwarna jingga yang
sama sekali tak membosankan penglihatan kita. Sebuah jalanan indah yang
menuntunku ke arah rumah tersebut.
Tok….tok….tok
“permisi apa ada orang di rumah?” aku berdiri di depan pintu dengan cat warna
cokelat plitur yang masih baru. “Apa itu kau wahai pemuda Asia?” sebuah suara
ringan tapi tegas membuatku gugup.
Tak
disangka, seorang kakek tua membukakan pintu tersebut dengan topi bulat dan
kemeja warna abu serta celana cokelat tua berdiri ditemani asap cerutu yang ada
di tangannya. “Oh jadi kau, siapa namamu anak muda?” tanyanya, “Aku Fikri pak,
senang bertemu anda. Saya dari Indonesia dan….” “Oh nak langsunglah masuk ke
dalam, kenapa kita tidak mendengarkan ceritamu dengan minuman hangat yang sudah
kusiapkan” dia langsung menyelak perkenalanku dan dengan ramahnya langsung
mengantarkanku ke tempat duduk di ruang tengah yang berada di depan perapian.
Dari
sana aku banyak bercerita tentang awal mula kedatanganku kesini, kegiatan apa
yang akan aku lakukan kedepannya, beserta beberapa bumbu cerita yang entah kenapa
aku selipkan nama seseorang yang aku idamkan selama ini. “Ha ha ha, anak muda
memang punya selera membara tentang dunia cinta” “yang penting kau akan tinggal
dengan kakek lusuh ini, maaf jika aku akan banyak merepotkanmu ha ha ha”.
Sebuah tawa yang sangat ramah, di tengah suasana indahnya sore hari di kota ini
terasa begitu hangat dengan sambutan ramah dari seorang kakek yang sudah
kehilangan cintanya.
“Dia
bukan hilang nak, dia ada, ada disini” kakek menunjuk ke arah dadanya. “Dia
akan terus ada disana, dan selalu menunggu sampai aku siap bertemu dengannya”.
Pelajaran
hangat tentang apa itu arti cinta, ia tak akan pernah hilang meski kehidupan
memisahkan. Tapi ia akan terus hidup di dalam hati kita sepanjang masa.
Bersambung…..
“Separuh hati yang hilang”
Ditulis oleh : DImas Dwi Gustanto
Disunting oleh : Redaksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar