Kabar dan Berita Penerima Beasiswa Al Azhar PM Darussalam Gontor Ulul Albab

Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

Berbagai Kritik dan Kesalahpahaman Terhadap Filsafat Stoikisme dan Problematika Penerapannya di Zaman Modern



Stoikisme, suatu aliran filsafat Yunani kuno yang dicetuskan oleh Zeno dari Citium, memang telah menciptakan dampak signifikan dalam pemikiran etika dan psikologi. Namun, tak dapat dielakkan bahwa ia memiliki kelemahan dan sering disalahpahami. 


Stoikisme sering kali dikritik karena mendukung sifat apatisme terhadap emosi, padahal dalam konteks aslinya, stoikisme lebih menekankan pada regulasi emosi ketimbang penghapusan total. Aliran ini seringkali disalahartikan sebagai suatu bentuk keengganan terhadap perubahan atau bahkan pasifisme, padahal prinsip-prinsip stoik justru menekankan pentingnya beraksi sesuai dengan alam dan kebajikan.


Salah satu kritik terhadap stoikisme berasal dari pandangan eksistensialis seperti Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche. Keduanya mengkritik stoikisme karena menurut mereka, stoikisme mengurangi keunikan dan kompleksitas pengalaman manusia dengan mereduksinya menjadi sekumpulan aturan etika universal. Nietzsche, misalnya, menilai stoikisme sebagai budaya budak, dimana orang-orang dianjurkan untuk menyesuaikan diri dengan dunia, bukan merubahnya.


Kritik lain datang dari sudut pandang epistemologi. Stoikisme memiliki asumsi bahwa manusia bisa mencapai pengetahuan objektif tentang dunia melalui akal budi. Namun, filsuf seperti David Hume dan Immanuel Kant telah mempertanyakan kemampuan manusia untuk mengakses realitas sejati di luar persepsi sensoris mereka. Jadi, jika stoikisme bergantung pada pemahaman objektif tentang alam, maka kritik epistemologis ini mempertanyakan validitas asumsi tersebut.



Terkait relevansinya di era modern, pertanyaan tentang keberlanjutan ekologis juga mempertanyakan etika stoik yang terfokus pada kebahagiaan pribadi. Sebagai contoh, Martha Nussbaum, dalam bukunya yang berjudul Upheavals of Thought, berargumen bahwa etos stoik terhadap emosi dan hubungan dengan alam dapat meredam respon etis terhadap isu-isu ekologis. Dalam dunia yang semakin membutuhkan tanggapan empati terhadap bencana ekologis, stoikisme dapat dikritik sebagai etos yang mengejar ketenangan pribadi pada biaya kesejahteraan kolektif.


Beralih ke kesalahpahaman, satu hal yang sering disalahartikan adalah pandangan stoikisme terhadap emosi. Publik sering mengasumsikan bahwa menjadi stoik berarti menghindari emosi, sebuah persepsi yang mungkin berasal dari pemahaman populer namun salah tentang stoik sebagai ‘tanpa emosi’ atau ‘dingin’. Padahal, para pemikir stoik seperti Seneca dan Marcus Aurelius lebih menekankan pada penguasaan emosi daripada pengekangan. 


Kesalahpahaman lainnya adalah identifikasi stoikisme dengan pasifisme atau fatalisme; Memang, para stoik menekankan penerimaan terhadap apa yang tidak bisa diubah, tetapi ini tidak sama dengan menyarankan apatisme atau ketidakpedulian terhadap tindakan moral dan keadilan sosial.


Kritik ini tentunya bukan bermaksud untuk menyalahkan aliran stoikisme. Namun, dalam konteks zaman modern yang kompleks, ada alasan-alasan kuat untuk mempertanyakan sejauh mana stoikisme bisa diaplikasikan tanpa revisi atau reinterpretasi yang signifikan. Dengan menggali lebih dalam ke dalam prinsip-prinsip dasar stoik dan mempertimbangkan kritik ini, kita mungkin menemukan cara untuk menyesuaikan atau bahkan memperkaya filsafat ini, tetapi kita juga perlu waspada terhadap potensi kesalahpahaman atau aplikasi yang keliru.

 


Red : Staf Ulul Albab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Pandora