Kabar dan Berita Penerima Beasiswa Al Azhar PM Darussalam Gontor Ulul Albab

Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

Kitab Suci Sosial Media



Dalam era informasi, sosial media menjadi semacam 'kitab suci' yang kerap kita rujuk dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Fungsi aslinya sebagai alat untuk mempermudah komunikasi antar manusia telah terdistorsi. Kini, sosial media lebih mirip dengan sebuah panggung besar, di mana setiap individu memainkan perannya sebagai aktor dan penonton, dalam permainan yang tak berujung tentang siapa yang paling sukses, paling menarik, atau paling berpengaruh. Di sinilah paradoks sosial media memperlihatkan taringnya; dari sebuah teknologi yang diharapkan dapat mempermudah interaksi antar manusia, kini menjadi senjata yang melukai kesejahteraan psikologis banyak orang.


Kita berada di masa di mana ketukan jari di layar ponsel bisa berarti lebih dari sekedar komunikasi. Setiap 'like', komentar, dan 'share' kini dianggap sebagai mata uang baru dalam ekonomi perhatian. Tak heran, banyak yang merekayasa kehidupan mayanya—dari memoles foto dengan filter yang berlebihan hingga menggiring opini publik—semua demi mendapatkan pengakuan dalam bentuk apresiasi digital. Kita mempertaruhkan keaslian demi pencitraan, menggadaikan integritas demi popularitas.


Namun, apa yang terjadi ketika semua ini merajalela? Dari perspektif psikologis dan filosofis, efek negatifnya lebih dari sekedar kecanduan layar atau mata minus. Salah satu sumber penderitaan terbesar dalam hidup manusia adalah perbandingan. Sosial media memfasilitasi ini dengan memperlihatkan kehidupan orang lain yang tampak sempurna dalam segala bidang—pekerjaan, hubungan, penampilan—sehingga kita merasa rendah dan tak berharga. Ini berakibat fatal pada kesejahteraan mental, menggerus rasa syukur dan mengisi diri kita dengan iri dan kecemburuan.


Memang, kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain adalah sifat alamiah manusia, tetapi sosial media memperparah ini dengan memfasilitasi akses yang mudah dan cepat ke 'kehidupan yang lebih baik'. Dalam konteks ini, sosial media berfungsi lebih sebagai alat pembanding daripada alat komunikasi. Ini menciptakan lingkungan yang toksik, di mana nilai individu diukur berdasarkan metrik-metrik digital daripada kualitas interpersonal yang sebenarnya.


Lalu, apa solusinya? Sebagai permulaan, kita perlu meredefinisi bagaimana kita menggunakan sosial media. Alih-alih memakai itu sebagai alat untuk menilai diri sendiri atau orang lain, kita bisa memakainya untuk berkomunikasi, berbagi informasi, dan memperkaya pengetahuan kita. Kita juga perlu lebih sering 'log out' dari dunia maya dan 'log in' ke dunia nyata, mengapresiasi keindahan yang ada di sekitar kita tanpa perlu membandingkannya dengan apa yang kita lihat di layar ponsel.


Selanjutnya, dari sudut pandang yang lebih besar, mungkin sudah saatnya bagi perancang dan regulator teknologi untuk mempertimbangkan dampak psikologis dari produk mereka. Desain etis yang memperhitungkan kesejahteraan pengguna harus menjadi prioritas, bukan sekadar fitur tambahan yang membuat seseorang semakin ‘lengket’ dengan gadget nya.


Di akhir hari, kita perlu mengingat bahwa sosial media hanyalah sebuah alat. Bagaimana kita memakainya—baik sebagai alat untuk memperkaya kehidupan atau sebagai bumerang yang berpotensi menyakiti—tergantung pada kita sendiri. Hanya dengan kesadaran dan niat yang tepat, kita dapat membebaskan diri dari jeratan psikologis yang diciptakan oleh dunia maya, dan kembali menemukan esensi dari kehidupan yang sesungguhnya.



Red : Staf Redaksi Ulul Albab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Pandora