Konsep Wú Wéi dalam Filsafat Taoisme dan Kaitannya dengan Kehidupan Manusia Modern
Baca Juga : Menulusuri Asal Usul Konsep Amor Fati Dalam Filsafat Stoikisme dan Penerapannya dalam Kehidupan Manusia
Lao Tzu menulis dalam bait ke-48 Tao Te Ching yang berbunyi : 無為而無不為 (Wú wéi ér wú bù wéi). Bait tersebut jika diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Inggris berarti, “When nothing is done, there is nothing that is left undone”. Memang terdengar aneh. Karena, menurut logika manusia, jika seseorang tidak melakukan apapun, maka ia juga tidak akan menyelesaikan apapun.
Ternyata, menurut pakar budaya Tiongkok, ada makna yang
lebih mendalam di balik kata “Wu wei”, yang secara
harfiah berarti ‘doing nothing’ atau tidak berbuat apa-apa. Jean Francois Billeter
menggambarkan sebagai bersikap realistis dan tidak melakukan perbuatan yang
bersifat memaksa dan melawan alam. Perbuatan memanipulasi alam demi meraih
keuntungan malah akan menimbulkan lebih banyak kerusakan yang bisa membahayakan
kedamaian. Bahkan, lebih jauh lagi, mengancam eksistensi umat manusia.
Zhuang Zhou juga menulis dalam Zhuangzi pada awal
bab ke-11 yang berbunyi: 無為也,而後安其性命之情 (Wú wéi yě, ér hòu ān qí xìng mìng zhī qíng). Melalui
kalimat itu, ia menjelaskan bahwa, barang siapa yang tidak memaksakan sesuatu
terjadi sesuai keinginannya, melainkan membiarkannya terjadi sebagaimana
mestinya, maka ia akan menemukan kedamaian.
Pada kenyataannya, manusia pada zaman sekarang sibuk
berusaha sekuat tenaga memaksakan sesuatu tanpa mengetahui dengan benar tujuan
dia melakukannya. Albert Camus dalam esai yang berjudul The Myth of Sisyphus mengibaratkan manusia modern dengan Sisyphus:
seorang raja Ephyra yang mendapatkan hukuman dari dewa Hades
untuk mendorong sebuah batu besar ke atas bukit hanya untuk menggelindingkannya
kembali ke bawah, lalu mendorongnya lagi naik ke atas.
Begitu pun manusia, mereka bekerja keras, bahkan sampai
memaksakan segalanya hanya untuk mengumpulkan uang, kemudian menghabiskannya.
Jika persediaan uang di rekening tinggal sedikit, ia berusaha semakin keras
untuk mencarinya lagi. Siklus seperti itu terus dilakukan oleh kebanyakan
manusia tanpa memahami tujuan hidup mereka sebenarnya. Akhirnya, sebagian besar
kerusakan alam di dunia ini terjadi disebabkan oleh keserakahan manusia itu
sendiri.
Baca Juga : “BERCANDA DOANG, MASA BAPERAN”
Lebih parah lagi, ternyata kekayaan yang dihasilkan
dengan serakah tersebut tidak memberikan kebahagiaan kepada pemiliknya.
Bagaikan minum air laut, semakin menenggak akan semakin menambah dahaga. Maka
tidak heran, jika banyak orang yang melakukan bunuh diri ternyata berasal dari
kalangan menengah ke atas. Hal tersebut dibuktikan oleh sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Federal Reserve Bank of San Francisco, di mana laporan bunuh diri kebanyakan berasal dari
negara bagian dengan pendapatan per kapita tinggi.
Oleh karena itu, sudah semestinya manusia memahami dengan
baik tujuan penciptaannya. Agar umurnya tidak dihabiskan hanya dengan berusaha
dan memaksakan kehendak demi memenuhi keinginan yang tidak ada habisnya. Karena
pada akhirnya, hal tersebut malah akan memicu banyak kerusakan: baik pada alam,
maupun pada diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar