Menulusuri Asal Usul Konsep Amor Fati Dalam Filsafat Stoikisme dan Penerapannya dalam Kehidupan Manusia
Oleh karena itu, muncul kecemasan dalam diri
manusia akan banyak hal, terutama masa depan. Banyak filsuf yang membahas
tentang cara mengatasi kecemasan-kecemasan dalam hidup, salah satunya adalah
konsep amor fati.
Amor fati adalah sebuah kata dalam bahasa Latin
yang sangat terkenal dan menjadi salah satu dari tiga konsep dasar Stoikisme.
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, amor fati berarti
mencintai takdir.
Baca Juga : Masih Perlukah Kita Overthinking ?
Meskipun para filsuf Stoik terdahulu
seperti Epictetus dan Marcus Aurelius tidak menyebutkan langsung kata amor
fati dalam tulisan-tulisan mereka, akan tetapi esensi dasar dari ungkapan
tersebut sangat jelas tertuang dalam buku The Enchridion (Ἐγχειρίδιον) yang
ditulis oleh Epictetus.
Dalam bait ke delapan ia menulis: Μὴ
ζήτει τὰ γινόμενα γίνεσθαι ὡς θέλεις, ἀλλὰ θέλε τὰ γινόμενα ὡς γίνεται καὶ εὐροήσεις. (Mí zítei tá ginómena gínesthai os théleis, allá théle tá ginómena os gínetai kaí evroíseis).
Berdasarkan interpretasi yang dilakukan
oleh Pierre Hadot dalam bukunya yang berjudul The Inner Citadel, kalimat
tersebut berarti: “Jangan menuntut segala sesuatu untuk terjadi sesuai dengan
kemauanmu, tetapi berharaplah agar segala sesuatu terjadi sebagaimana mestinya,
maka kamu akan baik-baik saja.”
Tidak hanya itu, Marcus Aurelius, seorang kaisar
Romawi yang berkuasa dari tahun 161 sampai 180 sebelum masehi menulis sebuah
buku harian yang diberi judul The Meditation (Τὰ εἰς ἑαυτόν). Dalam bab ke empat, pada poin ke 23 ia
menulis: Παν μοι συναρμόζει ο σοί ενάρμοστόν εστιν ω κόσμε. ονδέν μοι πρόωρον
ονδε οψιμον ο σοι ενκαιρον. (Pan moi synarmózei o soí enármostón estin o kósme. ondén moi próoron onde opsimon o
soi en’kairon).
Berdasarkan terjemahan yang dilakukan oleh
A. S. L. Farquharson atas buku aslinya, kalimat tersebut berarti: “Wahai
semesta, segala sesuatu darimu baik untukku, dan tidak ada sesuatu yang terlalu
cepat atau terlalu lambat bagiku.”
Baca Juga : Bagaimana Kita Menyikapi Resiko ?
Meskipun kedua tulisan tersebut ditulis dalam
bahasa Yunani dan tidak menyebutkan langsung kata amor fati yang menggunakan bahasa Latin. Tetapi
asal mula dari amor fati, menurut Robert Greene, sangat berhubungan
dengan kedua kutipan diatas.
Kata amor fati baru disebut secara
jelas dalam buku Ecce Homo (1908) pada bab ke 10 dan Die Frohliche
Wissenchaft (1882) pada bagian ke 276, yang keduanya ditulis oleh Friedrich
Nietzsche. Oleh karena itu, Nietzsche terkenal dengan kata ja sagen, yang
kemudian berkembang menjadi konsep Nietzschean Affirmation.
Serupa dengan Nietzsche, seorang filsuf Prancis bernama Albert Camus juga mengadopsi konsep amor fati yang dengan jelas terdapat dalam esainya yang berjudul Return to Tipasa (1952). Ia menulis bahwa, pada akhirnya manusia tidak memiliki pilihan lain selain menerima takdir buruk dan takdir baik yang datang silih berganti bagaikan benang putih dan benang hitam yang terkepang dalam satu kabel.
Pada akhirnya, meskipun amor fati berarti penerimaan
terhadap takdir, tetapi bukan berarti kita diajarkan untuk bersikap pasif.
Karena menurut ajaran Stoikisme, amor fati berarti melakukan hal yang
terbaik menurut versi sendiri tanpa menggantungkan harapan apapun pada hasil.
Karena ketidak-bergantungan itulah kita dapat dengan lapang dada menerima
segala hasil yang ditakdirkan. Maka
dengan penerimaan, hidup menjadi lebih tenang, bahagia, dan bebas dari
kekecewaan.
Oleh : Fachri Rachmat Thoriq
DIsunting oleh : Redaksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar