Kabar dan Berita Penerima Beasiswa Al Azhar PM Darussalam Gontor Ulul Albab

Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

 “BERCANDA DOANG, MASA BAPERAN”



Masa remaja merupakan masa di mana manusia mengalami masa-masa perubahan dalam hidupnya. Pertemanan di masa remaja juga banyak diwarnai dengan canda dan tawa. Maka, seseorang yang berada dalam fase ini harus lebih fleksibel terhadap lingkungannya dibandingkan fase lainnya.


Banyak sekali remaja yang terkesan baper saat temannya melontarkan lelucon. Padahal, lelucon itu sendiri kadang menjadi cara seseorang untuk menjadi lebih akrab dengan yang lainnya. Ia juga menganggap hal ini sebagai suatu bentuk perisakan (bullying). Remaja yang seperti ini biasanya tidak memiliki teman, karena sifatnya yang tidak fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.


Namun, ada satu hal yang perlu diingat. Tujuan bercanda adalah untuk menghibur, dan membuat kedua pihak tertawa senang. Jika ada satu pihak yang merasa tersakiti, maka pihak yang menyakiti akan meminta maaf langsung. Tetapi, ada satu cara meminta maaf yang salah, namun sedang populer antara remaja zaman sekarang. Setelah menyakiti hati temannya, dia akan berkata, “Iya, maaf. Baperan banget, sih”. Padahal, tujuan meminta maaf adalah untuk mengakui kesalahan dan mau mengintrospeksi diri untuk tidak mengulanginya lagi. 


Meminta maaf dengan cara di atas mengindikasikan, bahwa yang menyakiti tidak sepenuhnya salah, dan mengintimidasi orang yang disakiti: seakan dia tidak berhak sakit hati. Dengan begitu, orang-orang di sekitarnya akan berpikir bahwa yang disakiti itu baperan, dan menjauhinya untuk terhindar dari masalah.


Baca Juga : Masa Dewasa Awal: Keputusan akan Menentukan Masa Depan


Banyaknya perisakan yang dianggap sebagai sebuah candaan, membuat sesuatu yang tidak wajar ini dianggap normal. Padahal sudah jelas, bahwa perbuatan itu adalah penindasan dengan tujuan menyakiti secara terus menerus yang memojokkan suatu pihak yang pengaruhnya membuat pihak lain merasa lebih kuat dan lebih berkuasa. 


Ada yang bentuknya fisik, verbal, ataupun non-verbal. Dan semua itu masih dianggap wajar selama korban tidak koma, cacat fisik, ataupun meninggal dunia. Walaupun luka psikologis seseorang tidak terlihat, tetapi cacat mental dan trauma yang dihadapinya sangatlah berat untuk dihadapinya sendiri seumur hidup.


Untuk itu, seyogianya kita harus mengenali diri kita sendiri, mencintainya, dan menerima segala kelebihan dan kekurangan yang ada dalam diri kita, dan tidak lupa pula untuk selalu mengingat tujuan utama kita hidup. Apabila ada yang merendahkan kita, atau menyakiti kita, kita sudah tahu hal terbaik yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan diri kita. 


Kita harus yakin, bahwa diri kita itu berharga dan istimewa. Contoh nyatanya adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika menyebarkan Islam. Walau banyak sekali yang menyakiti beliau dengan kata-kata, dilempari batu, bahkan diusir terintimidasi, beliau tetap tenang. Karena, beliau tahu apa yang sedang beliau perjuangkan, dan beliau yakin masih banyak yang mencintainya.


Di sisi lain, kita juga harus memperlakukan manusia lain dengan cara yang manusiawi, memperlakukan orang lain sebagaimana diri kita ingin diperlakukan. Jika bercanda sewajarnya saja. Karena Rasulullah pun juga bercanda. Bercanda pun ada aturannya, seperti hanya melepas penat, tidak menjatuhkan wibawanya dan wibawa lawan bicaranya, tidak bercanda pada orang yang tidak suka bercanda, dan tidak bercanda dalam perkara yang serius. 


Maka dari itu, kita tidak boleh asal menghakimi orang lain dengan kata baperan, karena kondisi mental dan suasana hati seseorang berbeda-beda: hal tersebut harus ditoleransi. Apabila berbuat salah, minta maaflah dengan setulus hati, bukan mengintimidasi dengan melemparkan kesalahan pada yang sedang sakit hati.


Ditulis oleh : Rizka Salzabilla
Disunting Oleh : Redaksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Pandora