Kabar dan Berita Penerima Beasiswa Al Azhar PM Darussalam Gontor Ulul Albab

Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

Daun Pohon Maple Yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin

Daun Maple menjelang gugur


Sepoi angin pagi menyembul masuk ke sela-sela jendela rumah kayu ini, lantainya berdecit tiap kali aku berjalan ke perapian sederhana di tengah-tengah ruangan, sebuah sofa luas dan meja kecil mengisi dekorasinya, di atasnya terletak gelas yang menyembulkan aroma teh hangat ketika suhu sekarang sedang dalam temperatur dingin, ada seorang pak tua yang dari tadi memandangiku berdiri di dekat perapian.


"Keputusan memang mempunyai jalan masing-masing, apapun keputusanmu ada resiko yang menunggu di akhir jalan." Sebuah jaket cokelat tua menyelimuti pak tua itu, tangannya yang sudah keriput tak henti-henti menghisap cerutu kesayangannya, menurutnya itu bisa menghangatkan tubuh di kala musim dingin menyelimuti negara yang terkenal dengan ribuan pohon maple berselimut daun berwarna jingga.


"Apa yang kau takutkan nak? Itu sudah jadi keputusanmu dan malah sekarang kau menyesal? Apa kakek tua ini tidak pernah mengajarimu untuk hidup?" Ejekan khas dengan suara serak kembali menyapaku.


"Memang benar pak tua aku yang salah" jawabku, "tapi begitu juga penyesalan yang kurasakan itu datang tepat ketika aku sudah memutuskan apa yang kupilih."


"Kau itu masih muda nak, hidupmu masih jauh dari kata dimulai, biarkan pak tua ini menghabiskan cerutunya dan coba sana kau besarkan api nya."


Aku dengan sempoyongan mengambil beberapa tumpukan kayu kering di samping perapian, kayu itu langsung terkelupas dan terbakar ketika aku lemparkan ke dalam perapian itu, udara yang tadinya agak dingin kembali hangat ketika ditambahkan kayu yang baru.


"Apakah api ini bisa membesar jika dia mendapatkan kayu baru?" tanyaku sambil merapikan tungku perapian. "Api itu akan terus menyala nak seiring kau masukan kayu yang baru, begitu juga cintamu. Dia akan semakin besar jika kau bisa membawa kisah baru yang bisa dinikmati bersama." "Keputusanmu memang egois, tapi setidaknya kau belajar arti dari keputusan dan beratnya sebuah perasaan."


Hatiku bimbang dan termenung, apakah benar ini yang aku inginkan? Apakah keputusanku ini tepat? 


Aku terjatuh ke dalam pelukan sofa cokelat empuk yang sudah pudar warnanya, mataku menatap kosong ke arah perapian. Tidak jauh di luar sana, sepucuk daun maple terjatuh dibawa angin sejuk kota Quebec. Memang belum musim dingin, tapi suhu udara disini benar-benar membuatku harus menyiapkan jaket bulu tebal yang aku beli satu bulan yang lalu.


Daun itu terus terbang menjauhi pohonnya, dia terbang terbawa angin dingin yang sedari tadi menyapa pohon tersebut. 


Kemanakah daun itu akan terbawa angin? Dia terus pergi seakan melupakan pohon yang dulu bersamanya. Ia tergoda dengan duhaian angin dingin kota di pagi hari, kemudian jatuh dan terbang jauh meninggalkan pohonnya. Apakah cintaku juga seperti daun yang pergi? Ia memang meninggalkan pohonnya, tapi daun maple kecokelatan itu tak pernah membenci angin yang membawanya, ia mungkin perlu merasakan luasnya kehidupan ini. Tapi, daun itu sejatinya tak pernah melupakan pohonnya, ia tetap akan menyematkan nama sebagai daun maple yang akan dikenal oleh banyak orang dengan pengorbanan dan keputusan yang sungguh luar biasa.


"Kek, apakah kepergianku masih mengenal kata "kembali"? Aku memang pergi karena keputusanku, tetapi aku tak pernah membenci apa yang aku putuskan, aku hanya merasa ini sangatlah berat dan sakit. Tapi jauh di lubuk hatiku, tak pernah ada sekalipun melupakan tempat tuk kembali." "Aku hanya pergi untuk sesaat kek, aku mungkin butuh mengenal dunia. Tapi ingin suatu saat nanti, saat daun pohon maple itu terbawa angin dan memperkenalkan dunia dengan namanya, ia akan kembali datang dan bercerita banyak tentang apa yang dirasakannya selama ini."


"Nak coba kau ambilkan foto di atas rak dinding itu." Kakek tua itu menunjuk ke arah dinding yang tergantung di atasnya sebuah jam kayu unik dan juga sebuah foto berbingkai dengan ukuran sedang.


Ketika ku mendekat, siluet dua orang sepasang kekasih sedang tersenyum ke arah kamera yang memotretnya. Warnanya memang hitam putih, tetapi menurutku itu lebih berwarna dari kisah cinta manapun juga.


"Ini kek" aku sodorkan foto itu kepada kakek tua yang masih menghisap cerutunya. 


"Nak, dia adalah pohon maple itu, dan aku adalah daun yang sudah terbawa angin puluhan tahun lamanya. Meski pohon itu sudah lama layu, ia akan terus dikenang dengan cerita daun maple yang disebarkan oleh angin itu." 


Kakek kemudian meletakan foto itu di atas meja. Sejenak aku melihat setetes kecil air mata yang sudah hampir tidak bisa menetes lagi. Sudah lama sekali kakek kehilangan pohon maple nya. Ia sudah meninggalkannya 10 tahun yang lalu di usianya yang tergolong sudah sangat senja. Ditinggalkan sendirian sebatang kara menikmati sisa hidup menceritakan kisah masa lalu yang biasa aku dengarkan setiap paginya. 


"Terima kasih kek" ucapku. "Hahaha kakek tua ini yang harusnya berterima kasih kepadamu wahai anak muda, kau sudah kuanggap sebagai keluarga ini semenjak kedatangamu pertama kali. Aku hanya menceritakan kisah masa laluku setiap pagi, dan untungnya kau tak pernah bosan mendengarnya" kakek tersenyum lebar dengan giginya yang hanya tinggal beberapa. 


"Ingat nak, itulah sebuah cinta sejati. Ia memang sejenak kan pergi, terbawa angin terbang mengelilingi kehidupan. Tapi, ia akan bermuara kembali kepada pohon yang sudah menjadi bagian hidupnya," "teruslah berjalan dan ceritakan kembali kisahmu jika kau telah kenyang dengan kehidupanmu dan akan kembali kepada cinta sejatimu."


"Terima kasih kek," seruku. "Aku pergi dulu, Professor Lussy tak pernah melewatkan satu menit pun untuk meninggalkan kelasnya".


Aku bergegas pergi setelah percakapan hangat tadi. Kubuka pintu pembatas hangatnya perapian dan dinginnya udara luar itu. Jaket bulu tebal, jeans berwarna hitam pudar, sepatu boot kulit cokelat beserta sarung tangan dan topi hangat menemaniku berjalan di tengah-tengah udara dingin ini. Aku berjalan pergi meninggalkan setitik demi setitik siluet rumah kayu yang hangat itu, rumah kayu yang sudah aku tempati sekitar 10 bulan yang lalu, hidup bersama sang kakek tua sebatang kara yang sudah seperti keluargaku sendiri.


Bersambung...


Baca Juga : Daun Pohon Maple Yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin Part II


Ditulis oleh : Dimas Dwi Gustanto

Disunting oleh : Redaksi

1 komentar:

  1. Filosofi daun Maple yang sangat bagus sekali. Melambangkan arti bahwa cinta sejati takkan pernah mati.🍁 Semangat terus untuk teman-teman Ulul Albab dalam menorehkan karya-karya tulisannya.

    BalasHapus

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Pandora