Kabar dan Berita Penerima Beasiswa Al Azhar PM Darussalam Gontor Ulul Albab

Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

 Memahami Sindrom Stockholm: Ikatan Psikologis Antara Tawanan dan Penculik




Ululalbab.org - Stockholm Syndrome adalah respons psikologis yang menarik di mana seorang tawanan membentuk afeksi yang dekat dengan penculik mereka, serta menuruti agenda dan tuntutan mereka. Fenomena ini mengambil namanya dari sebuah insiden yang terjadi selama perampokan bank di Stockholm, Swedia, pada Agustus 1973. Empat karyawan Sveriges Kreditbank disandera di lemari besi bank selama enam hari yang menegangkan. Anehnya, selama kebuntuan ini, ikatan aneh berkembang antara para sandera dan penculik mereka.

Kasus Stockholm Syndrome yang paling terkenal melibatkan Patricia Hearst, seorang pewaris surat kabar yang diculik pada tahun 1974 oleh Tentara Pembebasan Symbionese. Setelah disandera selama sekitar 10 minggu, dia membantu penculiknya merampok bank California. Namun, krisis penyanderaan di Iran dari tahun 1979 hingga 1981 yang membawa konsep Sindrom Stockholm ke mata publik. Sindrom ini juga diamati setelah pembajakan penerbangan TWA 847 tahun 1985, serta dengan orang-orang Barat yang diculik oleh militan Islam di Lebanon, seperti Terry Anderson, Terry Waite, dan Thomas Sutherland.

Psikolog yang telah mempelajari sindrom ini mengusulkan bahwa ikatan antara tawanan dan penculik sering dimulai ketika penculik mengancam kehidupan tawanan tetapi kemudian memutuskan untuk tidak melakukan ancaman. Kelegaan yang dialami oleh tawanan pada penghapusan ancaman kematian menciptakan perasaan syukur terhadap penculik karena menyelamatkan hidup mereka. Respons emosional ini dengan cepat memperkuat ikatan antara penculik dan tawanan, sebagaimana dibuktikan oleh perkembangan cepat Sindrom Stockholm selama insiden perampokan bank.

Inti dari Stockholm Syndrome terletak pada naluri bertahan hidup para korban. Sementara hidup dalam ketergantungan yang dipaksakan dalam kondisi yang keras, tawanan menafsirkan tindakan kebaikan kecil dari penculik mereka sebagai perawatan yang tulus. Mereka menjadi sangat sadar akan kebutuhan dan keinginan penculik mereka, sering menghubungkan kebahagiaan penculik dengan kesejahteraan mereka sendiri. Menariknya, sindrom ini tidak hanya menumbuhkan ikatan positif antara tawanan dan penculik tetapi juga menimbulkan sikap negatif terhadap pihak berwenang yang mengancam hubungan ini. Sentimen ini terutama diucapkan ketika sandera hanya digunakan sebagai pengaruh terhadap pihak ketiga, seperti yang sering terjadi dengan sandera politik.

Seiring waktu, psikolog telah memperluas pemahaman mereka tentang Sindrom Stockholm di luar situasi penyanderaan tradisional untuk memasukkan kelompok lain, seperti korban kekerasan dalam rumah tangga, anggota kultus, tawanan perang, pelacur yang dibeli, dan anak-anak yang dilecehkan. Ini menyoroti cara-cara kompleks di mana ikatan psikologis dapat terbentuk dalam keadaan ekstrem.

Meskipun diakui luas, American Psychiatric Association saat ini tidak memasukkan Stockholm Syndrome dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM). Namun demikian, respons psikologis yang menarik ini terus memikat para peneliti dan publik, menjelaskan cara kerja pikiran manusia yang rumit dalam situasi luar biasa.


Oleh : Nick Carter
Disunting oleh : Redaksi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Pandora